Halaman

blog-indonesia.com

Cari Di Sini

Terbaru

30 November 2010

Sumedang Bans in The Past

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.




Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.


ASAL MULA NAMA  SUMEDANG
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.


PRABU GEUSAN ULUN
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.


Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.


Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.


Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.


Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dam karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang.


Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.


Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:


   1. Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
   2. Raden Aria Wiraraja, di Lemahbeureum, Darmawangi
   3. Kiyai Kadu Rangga Gede
   4. Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
   5. Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
   6. Raden Ngabehi Watang
   7. Nyi Mas Demang Cipaku
   8. Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
   9. Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
  10. Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
  11. Nyi Mas Rangga Pamade
  12. Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
  13. Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
  14. Pangeran Tumenggung Tegalkalong
  15. Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.


Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).



PENINGGALAN
Peninggalan benda-benda bersejarah dan barang-barang pusaka Leluhur Sumedang, sejak Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang dan Bupati-bupati yang memerintah Kabupaten Sumedang dahulu, merupakan koleksi yang membanggakan dan besar artinya bagi kita semua, terlebih bagi keluarga Sumedang.


Kumpulan benda-benda tersebut disimpan di Yayasan Pangeran Sumedang sejak tahun 1955.


Timbullah suatu gagasan, ingin memperlihatkan kepada masyarakat Sumedang khususnya dan masyarakat di luar Sumedang pada umumnya, bahwa di Sumedang dahulu terdapat kerajaan besar yaitu Kerajaan Sumedang Larang, dengan melihat benda-benda peninggalan Raja-raja tersebut dan sebagainya.


Gagasan tersebut ditanggapi dengan penuh keyakinan oleh keluarga, maka direncanakan membuat museum. Setelah diadakan persiapan-persiapan yang matang dan terencana, lima tahun setelah tahun 1968 baru terlaksana, tepatnya tanggal 11 Nopember 1973 Museum Keluarga berdiri.


Museum tersebut diberi nama Museum Yayasan Pangeran Sumedang, dan dikelola langsung oleh Yayasan Pangeran Sumedang. Pada tahun 1974, di Sumedang diadakan Seminar Sejarah oleh ahli-ahli sejarah se-Jawa Barat dan diikuti ahli sejarah dari Yayasan Pangeran Sumedang, dalam seminar tersebut dibahas nama museum Sumedang. Diusulkan nama museum adalah seorang tokoh dalam Sejarah Sumedang, ternyata yang disepakati nama Raja Sumedang Larang terakhir yang memerintah Kerajaan Sumedang Larang dari tahun 1578 - 1601, yaitu Prabu Geusan Oeloen.


Kemudian nama museum menjadi Museum Prabu Geusan Ulun dengan ejaan baru untuk memudahkan generasi baru membacanya.


Gedung yang dipergunakan untuk museum yaitu Gedung Srimanganti, Bumi Kaler, Gedung Gendeng dan Gedung Gamelan. Pada tahun 1980, Pemerintah melalui Dinas Jawatan Permuseuman dan Kepurbakalaan Kebudayaan Jawa Barat, mengulurkan tangan dan memugar Gedung Srimanganti dan Bumi Kaler.


Pada hari Rabu tanggal 21 April 1982, Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. DR. Haryati Soebadio, meresmikan dan menyerahkan kedua bangunan yang selesai dipugar kepada Yayasan Pangeran Sumedang dan bernaung di bawah Momenten Ordonnatie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238 )


LETAK MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN
Museum Prabu Geusan Ulun terletak di tengah kota Sumedang, 50 meter dari Alun-alun ke sebelah selatan, berdampingan dengan Gedung Bengkok atau Gedung Negara dan berhadapan dengan Gedung-gedung Pemerintah. Jarak dari Bandung 45 kilometer, sedangkan jarak dari Cirebon 85 kilometer, jarak tempuh dari Bandung 1 jam, sedangkan dari Cirebon 2 jam
Museum Prabu Geusan Ulun dikelilingi tembok/dinding yang tingginya 2,5 meter, dibuat pada tanggal 16 Agustus 1797.


Luas halaman Museum seluas 1,88 ha, dengan dihiasi taman-taman dan ditanami pohon-pohon langka.






Gedung yang berada di sekitarnya terdiri dari:

SRIMANGANTI
Didirikan pada tahun 1706, masa pemerintahan Dalem Tumenggung Tanoemadja dari tahun 1706 - 1709.


Pendirian gedung tersebut direncanakan oleh Pangeran Panembahan yang memerintah dari tahun 1656 - 1706, yang pernah diserbu oleh laskar-laskar Cilikwidara cs dari pasukan gabungan Banten.


Sejak selesai dibangun, maka pemerintahan pindah ke daerah baru yang disebut Regol.


Sejak itu Srimanganti dijadikan gedung tempat tinggal dan kantor oleh para bupati tempo dulu. Sedangkan untuk keluarga dibangun Bumi Kaler.

GEDUNG BENGKOK/GEDUNG NEGARA
Didirikan pada tahun 1850, masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Soegih) dari tahun 1836 - 1882. Gedung tersebut didirikan di atas tanah beliau untuk keperluan upacara-upacara resmi, peristirahatan bagi tamu-tamu dari Jakarta jika berkunjung ke Sumedang.


Halaman Gedung Bengkok cukup luas, di depan dibuat taman-taman dan ditanami dengan pelbagai buah-buahan. Di bagian barat didirikan Panggung Gamelan untuk menyimpan gamelan-gamelan kuno. Di bagian belakang sebelah barat, sekarang SMP Negeri 2 Sumedang memajang istal kuda dan tempat menyimpan kereta-kereta, diantaranya Kereta Naga Paksi. Sedangkan di belakang gedung dibuat kolam yang besar disebut Empang, yang kedalamannya setinggi bambu dan berbentuk kerucut.


EMPANG
Di tepi Empang, dibangun Bale Kambang, tempat istirahat bagi keluarga para Bupati dan Tamu-tamu Agung, sambil memancing ikan dengan dihibur Gamelan Buhun atau Degung.


Masa pemerintahan Pangeran Aria Soeria Atmadja dari tahun 1882 - 1919, ikan yang ada di Empang diganti dengan Ikan Kancra, sehingga merupakan peternakan ikan Kancra yang beratnya bisa mencapai 10 atau 15 kilogram.


Ikan Kancra tersebut diambil setiap bulan Mulud, untuk keperluan pesta Maulid Nabi Muhammad SAW yang dibagikan kepada fakir miskin dan sebagainya.



BUMI KALER
Didirikan tahun 1850, masa pemerintahan Pangeran Soeria Koesoemah Adinata (Pangeran Soegih) dari tahun 1836 - 1882.


Berhadapan dengan Bumi Kidul, sayangnya pada masa pemerintahan Pangeran Aria Soeria Atmadja (Pangeran Mekkah) Bumi Kidul dibongkar karena lapuk dimakan umur.


Bumi Kaler dibuat keseluruhan dari kayu jati, dan di atas tiang bentuknya khas rumah orang Sunda.


Dengan ruangan-ruangan dan kamar-kamar yang luas, sedangkan jendela dan pintu-pintunya tinggi-tinggi.


GEDUNG YAYASAN PENGERAN SUMEDANG
Didirikan tahun 1955, Yayasan Pangeran Sumedang yang mengelola seluruh Wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja dan Museum Prabu Geusan Ulun juga makam-makam seperti :


    * Makam Gunung Puyuh
    * Makam Gunung Ciung Pasaran Gede
    * Makam Gunung Lingga
    * Makam Dayeuh Luhur
    * Makam Manangga
    * Makam Panday
    * Makam Sunan Pada - Karedok
    * Makam Nyai Mas Gedeng Waru - Cigobang
    * Makam Prabu Gajah Agung - Cicanting, Kampung Sukamenak, Kecamatan Darmaraja
    * Makam Prabu Lembu Agung - Cipaku, Kecamatan Darmaraja


GEDUNG GENDENG
Didirikan tahun 1850 dan dipugar tahun 1950. Gedung tersebut aslinya dibuat dari :


    * Lantai merah
    * Dinding bilik
    * Tiang kayu jati
    * Atap genting


Tempat menyimpan barang-barang pusaka, senjata-senjata dan gamelan kuno.

GEDUNG GAMELAN
Didirikan tahun 1973 oleh Pemerintah Daerah Sumedang atas sumbangan dari Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bapak H. Ali Sadikin.


Gedung tersebut diperuntukkan tempat menyimpan gamelan-gamelan dan tempat berlatih tari-tarian.


LUMBUNG PADI
Semula Lumbung Padi terletak di luar benteng di tepi Empang, demi keamanan kemudian dipindahkan ke dalam komplek di dalam benteng.


Lumbung tersebut dipergunakan tempat menyimpan padi hasil dari sawah-sawah wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja


Padi tersebut dipergunakan untuk menyumbang wargi-wargi yang tidak mampu, sampai sekarang tercatat sejumlah 180 keluarga yang disumbang, besarnya hampir 12 ton per bulan.


Dan keperluan pemeliharaan pusaka-pusaka, wakaf dan pelestarian seluruh wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja.




SUMBER ::  (  WikipediAensiklopediA )
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ramalan Jodoh