Halaman

blog-indonesia.com

Cari Di Sini

Terbaru

18 Januari 2011

Two Fighters From Indonesia

Muhammad Thoha Ma'ruf (lahir di Manado, 25 Desember 1920 – meninggal di Jakarta, 7 April 1976 pada umur 55 tahun) adalah seorang ulama Nahdliyyin kharismatis dari negeri kaum paderi, meski sebenarnya Beliau bukan putera minang asli. KH Thoha Ma’ruf adalah keturunan ke-7 dari ulama Besar Nusantara asal Banjar Kalimantan, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Mengingat silsilahnya maka jelas sekali beliau dilahirkan dan dididik di tengah-tengah keluarga religius. Ayahnya bernama KH Mansur adalah seorang guru agama yang membangun sebuah keluarga di Kampung Banjar (Banjer) Manado, hingga di sanalah bayi Thaha Ma’ruf lahir tepat pada tanggal 25 Desember 1920.


Pendidikan

Pada usia 22 tahun ia telah menamatkan Madrasah Muallimin di Bukittinggi (1942) setelah satu tahun sebelumnya ia juga menamatkan Institute Islamic College di Padang. Dari sinilah kemudian Beliau mulai menapakkan dirinya di jalan dakwah. Di Padang, bumi pertiwi para intelektual ini pula ia membuka lebar-lebar cakrawala pemikirannya terhadap dunia dengan mempelajari pula bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Bahkan bahasa Jepang inilah yang sempat menyelamatkannya dari hukuman tentara Pendudukan Jepang ketika ia ditangkap karena dianggap menentang penjajah.

Sejak merantau ke Minang inilah Thaha Ma'ruf menunjukkan bakti yang begitu kuat terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa. Terutama dari sisi pendidikan. karena itulah ia terlibat dalam banyak sekali gerakan pendidikan sejak semasa mudanya. bahkan sebenarnya sejak sebelum ia berangkat ke negeri rantau, ia telah pula mengajar sebagai guru agama di tanah kelahirannya, Manado. Dan bukan hanya di Padang saja, melainkan juga ke wilayah-wilayah Sumatera Tengah lainnya, yakni di Riau, Jambi dan Medan.

Di Minang, Thaha Ma'ruf menikah dengan seorang gadis belia asli Minang yang kelak mendampinginya hingga akhir hayat, Hj Sariani binti H Muhammad Yasin. begitulah gadis itu biasa dipanggil. Sejak kecil Sariani telah dipanggil Hajjah, kerena sejak berusia lima tahun beliau telah diajak berangkat ke tanah suci Makkah-Madinah untuk pertama kalinya, beberapa kali ia pulang pergi ke Haramain sebelum akhirnya dinikahkan dengan pemuda Thaha Ma'ruf, seorang guru agama militan asal Banjar yang telah diterima sebagai bagian dari penduduk Minang. Keluarga Istrinya ini adalah sebuah keluarga saudagar kaya raya yang memiliki keseharian hidup agamis. Hj. Sariani pun seorang da’iyah handal sejak awal, sekaligus juga adalah pengatur keuangan keluarga yang terbukti sangat ulet.

Kehandalan Hj Sariani ini menjadi penting ketika terjadi peristiwa sanering (pemotongan nilai uang rupiah menjadi setengahnya), di mana setiap nominal mata uang di atas lima rupiah harus dipotong setengahnya. Kondisi ini cukup membuat orang-orang kaya kalang kabut, terutama bagi mereka yang tidak memiliki cadangan uang recehan. Nah, Hj Sariani inilah yang rupa-rupanya menyimpan cukup banyak cadangan uang recehan, sehingga keuangan keluarga cukup tertolong karena nilai mata uang dibawah lima rupiah tidak mengalami penyusutan.

Terbukti kemudian pasangan muda ini kedua-duanya aktif sebagai kader pejuang unggul yang mampu mensinergikan antara perjuangan bangsa dan dakwah keagamaan dalam satu tarikan nafas bahtera rumah tangga mereka. Thaha Ma'ruf, selain menjadi wartawan di Harian Penerangan, juga aktif sebagai guru di berbagai sekolah dan majlis taklim, sehingga ia mampu menanamkan rasa kecintaan masyarakat dan seluruh anak didiknya terhadap perjuangan bangsa dan agama sekaligus.

Hal ini senyatanya menjadi sebuah fakta ketika pada tahun 1953, dalam usia 33 tahun, Beliau menjadi pelopor sekaligus deklarator berdirinya Partai NU di wilayah Sumatera Tengah, wilayah yang sekarang menjadi tiga propinsi, Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Pendirian partai NU di Sumatera Tengah ini dilaksanakan setelah selama enam tahun Thaha Ma'ruf bergulat dalam perjuangannya sebagai Sekretaris Jenderal PERTI yang berpusat di Bukittinggi.


Bergabung di NU

Tiga tahun setelah mendirikan partai NU di Sumatera Tengah, Beliau hijrah ke Jakarta sebagai anggota Pengurus Besar NU (PBNU) dan aktif dalam perjuangan Nahdlatul Ulama di level Pusat.

Di Jakarta, Thaha Ma'ruf sekeluarga sempat beberapa kali pindah alamat, dari Kebun Nanas, Matraman hingga Cipinang. Dalam menjalani kehidupannya sebagai aktifis Nahdlatul Ulama di Jakarta ini Beliau selalu didampingi oleh sang istri yang juga seorang aktivis Fatayat-Muslimat NU.

Meski Jakarta adalah tempat yang baru baginya, namun Thaha Ma'ruf tatap dapat selalu mempertahankan kedekatannya dengan masyarakat sekitar. hal ini terbukti ketika pada tahun 1965 terjadi kemelut yang mendebarkan seputar pemberontakan PKI, kediaman Thaha Ma'ruf di Matraman selalu dijaga oleh laskar Ansor setempat atas inisiatif mereka sendiri, bukan permintaan dari shohibul bait ataupun atas instruksi atau komando dari atas.

Selama menjalani kegiatannya sebagai politikus, Thaha Ma'ruf dan istri juga selalu aktif mengisi dakwah-dakwah di tingkat masyarakat bawah. Bahkan meskipun ia telah menjadi unsur pimpinan pusat di "Majlis Ulama" dan da’i tetap di pengajian Masjid Istiqlal.

Bahkan meski berpindah-pindah tempat tinggal, keluarga Thaha ma'ruf tidak pernah meninggalkan sebuah majlis taklim pun di komunitas lamanya.

Thaha Ma'ruf tercatat sebagai anggota DPRGR/MPRS tahun 1960-1970 setelah berdinas di ketentaraan sejak tahun 1946 sebagai Kepala Penerangan yang berkedudukan di Bukittinggi dengan pangkat Mayor. Dari latarbelakang militernya inilah Thaha Ma'ruf senantiasa tegas dalam sikap-sikap politiknya. Ia tidak segan-segan mengkritik kebijakan pemerintah jika dinilainya kurang tepat.

Salah satu gagasan penting yang dicetuskannya dengan sukses adalah kembalinya Indonesia ke pangkuan PBB pada tahun 1966. Dari sinilah kemudian Thaha Ma'ruf dipercaya untuk menjalani berbagai kunjungan kenegaraan ke berbagai wilayah di luar negeri. Termasuk untuk menghadiri Kongres Perdamaian di Moskow tahun 1962 dan mempersiapkan pendirian Konsulat RI. di Seoul, Korea Selatan pada tahun 1968.

Ketika terjadi banyak kemelut antara pemerintah pusat dengan beberapa wilayah termasuk dengan PRRI di Sumatera Barat, Thaha Ma'ruf mengambil sikap pro pemerintah pusat, karena baginya, keutuhan NKRI lebih penting daripada perpecahan antar bangsa. karenanya, hal ini juga menjadikannya berada dalam garis depan untuk menolak setiap bentuk perlawanan terhadap kedaulatan NKRI, termasuk ketika terjadi peristiwa pemberontakan PKI 1965.

Dukungannya yang begitu kuat untuk keutuhan NKRI juga tercermin dari pendirian dan deklarasi NU wilayah Sumatera Tengah, yang diawali oleh argumentasi bahwa semestinya umat Islam di Indonesia memang memiliki sebuah wadah keagamaan yang mencakup dan menjangkau ke seluruh wilayah NKRI, sehingga tidak menimbulkan friksi antar daerah.

KH. Thaha Ma'ruf adalah seorang tokoh yang hidup dalam suasana kesederhanaan dan memiliki keteladanan yang patut diikuti oleh masyarakat muslim. Salah satu kegemaran positif semasa hidupnya adalah bersilaturrahim. Menurut penuturan KH Fadhli Ma'ruf, putera ke-7, semasa hidupnya KH Thaha Ma'ruf sangat gemar bersilaturahim ke Ulama-ulama yang juga adalah teman-teman dan kerabatnya. Selain itu beliau juga sangat gemar berziarah ke makam para Aulia di Jakarta dan sekitarnya, seperti ke Luar Batang, makam KH. Mas Mansur di Tanah Abang dan lain-lain.

Dermawan adalah salah satu sifat positif beliau yang senantiasa dijalankan sepanjang hidupnya. Diceritakan, beliau selalu membawa uang recehan untuk dibagikan kepada siapapun yang memerlukannya di sepanjang perjalanan yang dilaluinya. Konon beliau tidak pernah menolak seorang pun yang datang untuk meminta pertolongan.

Kedekatan dengan para Habaib dan Ulama selalu dijaganya untuk kepentingan dakwah Islamiyah. beberapa teman-teman dekatnya adalah KH Abdullah Syafe'i, KH. Wahid Hasyim dan Habib Ali Kwitang. Beliau juga selalu aktif di Majlis Ta'lim Kwitang, baik sebagai peserta maupun pembicara.


Aktif menulis

Hingga masa-masa tuanya, Beliau juga masih sangat aktif menulis, terutama artikel-artikel yang berkenaan dengan dakwah islamiyah. Hingga tujuh Jam sebelum beliau menghadap sang Khaliq (Malam Rabu, 6 April 1976 jam 22.00 WIB), KH. Thaha Ma'ruf masih sempat menulis sebuah karangan (artikel dakwah) yang akan diajarkan pada Majlis Ta'lim Masjid Istiqlal. Karangan terakhir ini belum selesai dan ditemukan masih terpasang di atas meja kerjanya.


Wafat

KH. Thaha Ma'ruf bin Mansur meninggal pada 7 April 1976 dalam usia 56 tahun dengan berstatus sebagai Pengurus Pusat Majlis Ulama Indonesia dengan meninggalkan seorang istri dan delapan anak. Beberapa di antara putera puteri beliau ada yang aktif menjadi pengurus teras PBNU dan banom-banomnya, sementara yang lainnya ada yang mengurus kelanjutan dakwah Islamiyah yang telah dirintis oleh beliau.

Karena Hj Sariani berprinsip bahwa wafatnya suami bukanlah berarti terhentinya perjuangan dalam menegakkan agama Islam, maka pada tahun 1976 pula sang istri dengan dibantu oleh putera-puterinya mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Al-Ma'ruf di Cibubur. Yayasan ini bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah Islam yang sekarang telah berkembang dan memiliki jenjang pendidikan dari tingkat TK hingga SMU.

Pada mulanya yayasan ini adalah sebuah Musholla kecil, namun masyarakat memintanya dikembangkan sebagai sebuah lembaga pendidikan yang dapat diandalkan. Menurut permintaan masyarakat, hal ini dikarenakan di wilayah tersebut (saat itu masih pinggiran Jakarta), sudah terdapat beberapa musholla, namun justru digunakan untuk main "gaple" karena tidak ada kader-kader yang berkompeten memakmurkannya. Karena itulah, membuat sebuah wadah untuk mencetak kader dakwah menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi.

Ketika Hj Sariani wafat dan dikebumikan di Cibubur, Komplek Yayasan Pendidikan Islam al-Ma'ruf, jasad KH Thaha Ma'ruf juga dipindahkan ke Cibubur untuk bersanding dengan makam isterinya di belakang Masjid. Setelah sebelumnya jasad beliau disemayamkan di pemakaman umum Kebon Nanas






Daan Mogot (lahir di Manado, 28 Desember 1928 – meninggal di Lengkong, Tangerang, 25 Januari 1946 pada umur 17 tahun) adalah seorang pejuang dan pelatih anggota PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 menjadi pendiri sekaligus Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.

Daan Mogot lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien) dengan nama Elias Daniel Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut).

Pada tahun 1939, yaitu ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (Jakarta sekarang) dan menempati rumah di jalan yang sekarang bernama Jalan Cut Meutiah – Jakarta Pusat. Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.

Pada masa Pendudukan Jepang, ia masuk dalam organisasi militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, yaitu Pembela Tanah Air atau PETA. Waktu itu tahun 1942, ia menjadi anggota PETA angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun. Waktu itu ia berumur 14 tahun.

Karena prestasinya, ia diangkat menjadi pelatih anggota PETA di Bali, kemudian dipindahkan di Jakarta. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat sejati yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis.

Mereka yang berasal dari Seinen Dojo oleh instruktur Jepang diangkat sebagi Instruktur Pembantu. Sebab, latihan yang akan diberikan kepada mereka jauh lebih ringan dari latihan yang pernah diterima pada masa Seinen Dojo di Tangerang. Pendidikan dan latihan itu dapat terlaksana sampai empat angkatan. Angkatan pertama mulai bulan Desember 1943 dan angkatan keempat, terakhir selesai bulan Juli 1945, sebelum Jepang takluk pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.

Ada 50 orang yang diambil dari peserta latihan angkatan pertama untuk mengikuti pendidikan “guerilla warfare” di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Di antara mereka yang ikut latihan khusus itu adalah Daan Mogot, Kemal Idris, Zulkifli Lubis, Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Syatibi dan Effendi. Jenis latihan yang diberikan antara lain bagaimana cara memelihara burung merpati, karena burung itu dapat dipergunakan untuk alat komunikasi. Di samping itu mereka dilatih bagaimana menggunakan senjata yang baik untuk menghadapi lawan.

Setelah ke-50 orang itu dilantik menjadi perwira, mereka tidak lagi bertugas sebagai Instruktur Pembantu, melainkan menjadi Shodancho.

Setelah dilantik menjadi perwira PETA, masing-masing perwira dikembalikan ke daerah asalnya. Di Bali, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan serta melatih para calon PETA di sana. Alasan Jepang mendirikan PETA di Bali, karena Bali dianggap merupakan daerah pertahanan dan tempat pendaratan. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah Nagara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah telapak penjajah. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai. Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun selanjutnya mereka harus berpisah. Empat orang Shodancho harus kembali ke Jawa, sedangkan Daan Mogot, Zulkifli Lubis, dan Kemal Idris yang tetap tinggal. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan.

Pada tahun 1945 ketika Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Ini suatu keunikan pada masa itu, Mayor Daan Mogot baru berusia 16 tahun!

Di sana Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pada tanggal 23 Agustus 1945 mendirikan markasnya di Jalan Cilacap No. 5 untuk daerah Keresidenan Jakarta, empat hari sesudah pembentukannya. Moefreini Moe’min, seorang bekas syodancho dari Jakarta Daidan I ditunjuk sebagai pimpinannya. Sejumlah perwira yang bergerak di situ adalah Singgih, Daan Yahya, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.

Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan Lengkong-Serpong Tangerang Banten, ketika Taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang tanggal 25 Januari 1946.

Ironisnya, sementara ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia bahkan rela gugur di medan pertempuran, ayahnya tewas dibunuh para perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.

Suatu ketika, Mayor Daan Mogot bertemu dengan sepupunya Alex Kawilarang. Dengan mengenakan peci hijau, ia menuruni sepeda motornya. Pemuda berusia 17 tahun itu kemudian dijemput oleh Alex di pinggir jalan, dan ia pun menunjukkan muka gembira. Pertemuan yang hangat terjadi. Kemudian mereka mengobrol di dalam rumah. Daan Mogot bercerita bahwa ia sekarang tinggal di Jalan Asem Baru, menumpang pada keluarga Singgih. Segera disambungnya cerita mengenai perjuangan. Tentang serangan di Pondok Gede. Ia juga cerita tentang ayahnya yang baru saja dibunuh, tidak diketahui dengan pasti oleh siapa. “Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex. “Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe tangan” sambung Daan. Katanya lagi kepada Alex, “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”

Lalu Daan bercerita pula mengenai pemikirannya tentang sebuah perguruan untuk mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara, yang kemudian ternyata terlaksana, ialah didirikannya “militer akademi” (akademi militer) pada tanggal 18 November 1945 di Tangerang.


Sebagai sponsor terwujudnya gagasan mendirikan sekolah akademi militer, maka tanggal 18 November 1945 ia dilantik menjadi Direktur Militer Akademi Tangerang (MAT) pada waktu ia berusia 17 tahun. Sebenarnya di Yogyakarta juga berdiri Militer Akademi Yogya (MA Yogya) hampir bersamaan, yaitu tanggal 5 November 1945. Ide mendirikan sebuah akademi militer ini memang seperti yang diangan-angankan oleh Daan Mogot.

Ide pendirian Militer Akademi Tangerang itu datang dari empat orang: Daan Mogot, Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin.

Pada tahap awal ada 180 orang Calon Taruna pertama yang dilatih. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Ada di antara mereka yang menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, Sersan Sirodz. Di Resimen Tangerang Taswin bertugas di staf sedangkan Kemal Idris di pasukan.

Pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa pasukan NICA Belanda sudah menduduki Parung dan akan melakukan gerakan merebut depot senjata tentara Jepang di depot Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki NICA bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif NICA Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna MA Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.

Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari. Para perwira dan taruna Akademi Militer Tangerang (MAT) yang gugur pada peristiwa itu adalah sebagai berikut:


Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

Hmmm gimana? Sudah tau tentang Daan Mogot itu siapa ? Selain nama jalan, Daan Mogot juga menjadi nama sebuah mall yang berada di Kecamatan Kalideres Jakarta Barat, terletak persis dekat Jalan Daan Mogot. Semoga kita bisa meneladani beliau, bahwa prestasi bisa ditanamkan sejak dini. Ia rela mengorbankan masa mudanya demi kepentingan rakyat Indonesia yang menderita akibat penjajahan bangsa asing.






SumbeR :  ( WikipediAensiklopediA )
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ramalan Jodoh