Halaman

blog-indonesia.com

Cari Di Sini

Terbaru

26 November 2010

HEROES OF SOUTH WEST JAVA

Hasan Mustapa
Hasan Mustapa lahir di Cikajang Garut pada tahun 1852-Bandung,1930, Penghulu besar, ulama, pujangga Sunda yang terbesar. Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, camat perkebunan. Meskipun Haji Usman sendiri waktu kecil bersekolah, tetapi Hasan Mustapa tidak disekolahkan, melainkan disuruh belajar di berbagai pesantren. Pada umur 7 tahun, ia dibawa ayahnya naik haji ke Mekkah, dan sekembalinya disuruh belajar di beberapa pesantren. Pada usia kira-kira 17 tahun dikirim ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama dan bermukim di sana ,Setelah kembali ia masih disuruh belajar lagi kepada beberapa kiai. Guru-gurunya di tanah air, antara lain Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut, Garut), Muhamad Ijra'i (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura). Setelah menikah dan beranak satu, sekitar 1880, ia berangkat lagi dengan anak istrinya ke Mekkah untuk belajar lebih jauh. Guru-gurunya di Mekah antara lain Syekh Muhamad, Syekh Abdulhamid Dagastani atau Sarawani, Syekh Ali Rahbani, Syekh Umar Syami, Syekh Mustafa al-Afifi, Sayid Abubakar al-Sathahasbulah, Syekh Nawawi Al-Bantani, Abdullah Al-Zawawi, dan lain lain. Pada waktu itu, Hasan Mustapa sendiri sudah mengajar di Masjidil AL-Haram. Menurut Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang berkenalan dengannya di Mekkah, Hasan Mustapa diikuti oleh beberapa lusin murid setiap kali ia mengajar. Menurut Abubakar Djajadiningrat yang memberikan bahan-bahan sumber kepada Snouck Hurgronje, dalam naskah yang bertitimangsa (bertanggal) 17 Desember 1887, Hasan Mustapa mempunyai murid di Masjidil Haram lebih kurang 30 orang, berilmu luas dan telah menerbitkan buku dalam bahasa Arab. Pada sekitar 1885 di Garut timbul pertikaian paham antara golongan tua dengan kaum muda pembaharu yang cukup ramai, sehingga Penghulu Besar Haji Muhamad Musa mengirimkan orang untuk menjemput Haji Hasan Mustapa memenuhi panggilan itu, ia berhasil memadamkan pertikaian paham itu, lalu mendirikan pesantren di Sindangbarang, Garut. Tahun 1889 ia diajak oleh Dr. Snouck Hurgronje yang ketika itu berada di Jawa untuk berkeliling di Jawa menemui para kiai terkenal sambil menyelidiki kehidupan agama Islam. Hasan Mustapa dianggap sebagai orang yang benar-benar ahli tentang adat-istiadat Sunda, Tahun 1893, ada lowongan jabatan penghulu besar di Aceh, Dr. Snouck membujuk Hasan Mustapa agar bersedia mengisi lowongan itu. Hasan Mustapa menerimanya dengan berbagai syarat di antaranya agar ia dipindahkan langsung ke Priangan segera setelah ada lowongan. Selama  kurang Lebih dua setengah tahun menjadi Penghulu Besar Aceh. Hasan Mustapa dipindahkan dan diangkat menjadi Penghulu Besar Bandung sampai pensiun pada tahun 1916). Selama menjadi penghulu besar di Bandung sampai setelah pensiun ia banyak menulis karangan dalam bahasa Sunda dan juga dalam bahasa Jawa, baik berupa prosa maupun puisi.  kebanyakan karyanya tidak pernah diterbitkan sebagai buku. Saluran yang dipakainya untuk menyebarkannya adalah saluran naskah Islam tradisional, yaitu dengan melalui saling salin yang sampai sekarang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait Dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda, umumnya membahas masalah Suluk, terutama membahas hubungan antara hamba "kaula" dengan Tuhan "Gusti".  Metafora  yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk "bahan aren)"  yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab Wihdatul Wujud. Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan Injazu'l-Wa'd,fi ithfa-I- r-Ra'd (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar).
                                                   


MANG KOKO SENIMAN SUNDA
Mang Koko Muda
Koko Koswara, biasa dipanggil Mang Koko lahir di Indihiang, Tasikmalaya pada tanggal 10 April 1917 – meninggal di Bandung pada  4 Oktober 1985 pada umur 68 tahun,  adalah seorang seniman Sunda. Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten :Sultan Hasanuddin"  Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda. Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda "Kaca Indihiang" (1946), "Taman Murangkalih" (1948), "Taman Cangkurileung" (1950), "Taman Setiaputra" (1950), "Kliningan Ganda Mekar" (1950), "Gamelan Mundinglaya" (1951), dan "Taman Bincarung" (1958). Mang Koko juga mendirikan sekaligus menjadi pimpinan pertama dari "Yayasan Cangkurileung" pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian "Swara Cangkurileung" (1970-1983).

Mang Koko
Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya:
  * "Resep Mamaos" (Ganaco, 1948),
  * "Cangkurileung" (3 jilid/MB, 1952),
  * "Ganda Mekar" (Tarate, 1970),
  * "Bincarung" (Tarate, 1970),
  * "Pangajaran Kacapi" (Balebat, 1973),
  * "Seni Swara Sunda/Pupuh 17" (Mitra Buana, 1984),
  * "Sekar Mayang" (Mitra Buana, 1984),
  * "Layeutan Swara" (YCP, 1984),
  * "Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan"; dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya:
    * "Gondang Pangwangunan",
    * "Bapa Satar",
    * "Aduh Asih",
    * "Samudra",
    * "Gondang Samagaha",
    * "Berekat Katitih Mahal",
    * "Sekar Catur",
    * "Sempal Guyon",
    * "Saha?",
    * "Ngatrok",
    * "Kareta Api",
    * "Istri Tampikan",
    * "Si Kabayan",
    * "Si Kabayan jeung Raja Jimbul",
    * "Aki-Nini Balangantrang",
    * "Pangeran Jayakarta",
    * "Nyai Dasimah".

Mang Koko
Mang Koko telah mendapat berbagai penghargaan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga atau organisasi masyarakat (LSM), seperti diantaranya Piagam Wijayakusumah (1971), sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori "Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan". Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.



                                                                                                           ADENG HUDAYA
Adeng saat melawan PSV Eindhoven


Persib tempo dulu
Adeng Hudaya lahir di Cikajang, Garut pada 30 Juni 1957 adalah Libero sekaligus kapten ketika Persib Bandung Berjaya di pentas sepak bola nasional semasa kompetisi era Perserikatan. Adeng Mulai bergabung dengan Tim Persib sejak tahun 1979, Sudah dua kali menjadi juara kompetisi perserikatan yaitu pada tahun1986 dan 1989 atau 1990. Ketika menjadi bagian dari tim nasional Indonesia yang berlatih di Brasil, ia tidak sempat memperkuat Persib di Piala Hasanal Bolkiah "Piala Pesta Sukan II" 1986 di Brunei Darussalam. kemudian Persib memanggil dua pemain asal Bandung Jawa Barat yang memperkuat klub lain,yaitu Heri Kiswanto "Krama Yudha Tiga Berlian Palembang" dan Yusuf Bachtiar "Perkesa '78 Sidoardjo" Perjalan karier di lapangan Hijau relatif mulus, Adeng muda Hijrah ke Kota Bandung pada tahun 1977 untuk kuliah di FPOK UPI, Guna menyalurkan hobinya bermain sepak bola ia masuk klub POP dan selanjut nya POR UNI. 2 tahun kemudian Adeng sudah masuk skuad inti Tim Maung Bandung. Pada awal karier bersama Persib Bandung Justru kang Adeng bukan pemain belakang, ia malah di plot sebagai striker, Belakangan posisinya berganti ganti, selain jadi striker ia pun sempat menjadi gelandang bek sayap Hingga Kiper. Bahkan sebagai kiper ia pernah turun sebagai pemain cadangan dalam satu laga kompetisii perserikatan 1984. Ceritanya saat itu Wawan dan Boyke yang biasa jadi pelapis Kiper utara Sobur tak bisa turun karena cedera, Kang Adeng terpaksa di siapkan sebagai Kiper dadakan. Dia tempatkan sebagai libero pada tahun 1985, posisi ini tidak berubah sampai ia mengundurkan diri pada tahun 1992.



  IDING SOEMITA
Iding Soemita
Iding Soemita lahir di Cikatomas Tasikmalaya Jawa Barat pada 3 April 1908 dan meninggal di Suriname pada 18 November 2001 pada umur 93 tahun, merupakan pimpinan partai politik Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) dari Suriname. Ia merupakan ayah dari pimpinan partai tersebut yang sekarang, Willy Soemita. Soemita dilahirkan di Preanger,sekarang daerah ini disebut sebagai Priangan/Parahyangan, bagian dari Jawa Barat yang beribukota di Bandung. Soemita beremigrasi pada usia 17 tahun ke Suriname, dan tiba pada tanggal 25 Oktober 1925. Pada bulan April 1949, ia mendirikan KTPI dan menjadi anggotanya. Sebulan kemudian dengan pemilu dengan hak pilih terbuka, partai tersebut mendapatkan 2 kursi di parlemen. Soemita mendapat satu di antaranya. Sebagai perwakilan suku Jawa di Suriname, ia sering terlibat diskusi dengan Belanda demi otonomi untuk Suriname. Iding Soemita disebut-sebut sebagai pimpinan politik pertama bagi suku Jawa di Suriname, meskipun ia sendiri adalah orang Sunda. Ia melakukan penggunaan strategis atas posisi penengah di mana partainya masuk setiap pemerintahan koalisi. Pada tahun 1960, ia mengundurkan diri dari politik. Kepemimpinan partai dialihkan kepada puteranya Willy.


K.H.ZAINAL MUSTAFA
K.H.Zainal Mustafa
K.H. Zainal Mustafa lahir di Bageur Cimerah Singaparna Tasikmalaya pada tahun 1899 dan wafat di Jakarta pada 28 Maret 1944, adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya. Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny.Ratmah, di kampung Bageur Desa Cimerah Kecamatan Singaparna yang kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame Kabupaten Tasikmalaya,Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927. Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga,Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas. Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya,di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya. Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933 ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

                                                              PERLAWANAN TERHADAP PENJAJAH
K.H.Zainal Mustofa
Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda. Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH. Ruhiat dari Pesantren Cipasung, Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942. Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara. Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda. Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah Bahkan kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik
Menurutnya orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa. Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.
Tiba-tiba datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan nama "PEMBERONTAKAN SINGPARNA" Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri,  Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

                                                       
(Sumber Dari  : WikiPediA EnsiKloPediA)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ramalan Jodoh