Halaman

blog-indonesia.com

Cari Di Sini

Terbaru

24 Desember 2010

Let's Preserve Sundanese Culture

KABUYUTAN
Istilah Kabuyutan dalam budaya Sunda setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya.

Istilah ini terbentuk dari kata dasar buyut. Adapun kata buyut mengandung dua arti. Pertama, turunan keempat (anak dari cucu) atau leluhur keempat (orang tua dari nenek dan kakek). Kedua, pantangan atau tabu alias cadu atau pamali.

Ada kalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan. Adapun satru kabuyutan alias musuh kabuyutan berarti musuh yang turun-temurun, dan sukar berakhir.

Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan. Wilayah Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Banten, adalah salah satu contoh kabuyutan.

Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.

Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Hindu di tatar Sunda. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.

Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.



TERBANG BUHUN
Terbang buhun merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang tersebar di beberapa tempat di Jawa Barat, dengan beberapa sebutan, seperti Terbang Gede, Terbang Gebes, Terbang Ageung, dll. Pada masa lalu, seni terbang digunakan sebagai media dakwah Islam, melalui pupujian (puji-pujian) yang dilantunkan sepanjang pertunjukan berlangsung. Terbang buhun dianggap pula memiliki kekuatan-kekuatan spiritual dan mistis, karena itu seringkali dipakai pula di dalam upacara ngaruwat, misalnya ngaruwat anak, ngaruwat rumah, dll. Dalam upacara ruwatan biasa diadakan acara ngahurip dengan menebarkan air suci serta membuat sesajen dan sambung layang, yakni rangkaian hasil bumi yang disusun tiga lingkaran yang biasanya dibuat sepasang.




PERKEMBANGAN
Terbang buhun dikenal juga sebagai Terbang Pusaka, khususnya di Tanjungkerta yang dipimpin oleh Adis Mukaya (sekarang dilanjutkan oleh putranya, Sutisna). Seiring dengan perkembangan zaman, terbang buhun telah mencoba melakukan upaya-upaya penyesuaian terhadap permintaan masyarakat sekitar, apalagi setelah mendapat bantuan tenaga dari STSI Bandung di dalam mengemas kembali. Dewasa ini Terbang Buhun sudah mampu tampil lebih dinamis, dengan lagu-lagu yang dipilih, lengkap dengan Upacara ngahuripnya serta tak ketinggalan sambung layangnya.

Pertunjukan terbang buhun di Jawa barat pada umumnya tak jauh berbeda, baik dalam upacara Ngaruwat maupun pertunjukan dalam hajatan biasa. Sebagai contoh struktur pertunjukan terbang buhun, misalnya pada saat pertunjukan Ngaruwat Rumah, adalah sebagai berikut: Pertama, diadakan Ijab Kabul oleh saehu; Tatalu dengan lagu-lagu pupujian yang dilantunkan oleh Reuahan, sambil saehu mempersilahkan penari maju ke depan arena pertunjukan dengan diiringi lagu Engko, dilanjutkan dengan lagu Bangun, Kembang Kacang, Lailahaillah, Malong, Siuh, dan Benjang; kedua acara ruwatannya yang dipimpin oleh Saehu dengan membacakan mantra-mantra sambil membakar kemenyan serta menyiramkan Cai Hurip ke seluruh penjuru rumah; musik terbang buhun ditabuh dengan irama naik, dengan lagu Eling Allah, Riring-riring, Kikis Kelir, Nyai Lais Koncrang, Meungpeung Hurip, Keupat Eundang; Ketiga, pertunjukan ditutup dengan pembacaan doa, sementara para pemain meletakkan alat musik terbangnya dan duduk khidmat membentuk setengah lingkaran sambil menengadahkan kedua tangannya.




PERLENGKAPAN
Alat-alat musik terbang buhun antara lain: terbang kempring, terbang ageung, terbang gebrung, terbang talingtik, terbang goong, dan kendang. Sementara lagu-lagu pupujian yang dilantunkan, seperti Bismilah, Yahmadun Kayumbilah, Robun Allah dan Kembang Gadung.



PEMAKNAAN
Makna dibalik Terbang buhun adalah makna konotatif yang tersembunyi, di antaranya: a) Makna spiritual, makna yang terkandung dalam pertunjukan Terbang Buhun terutama dalam pertunjukan Upacara Ngaruwat atau Upacara Ngahurip. Khusunya dalam makna-makna dibalik berbagai tanaman hasil bumi yang terdapat dalam Sambung Layang; b) Makna teatrikal, Sambung Layang yang ukurannya besar dan tinggi apalagi sepasang, membuat daya tarik tersendiri bagi penonton.




SEREN TAUN
Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda, seperti Desa Kenekes Baduy, Desa Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, dan Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara.



ETIMOLOGI
Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat pada tahun yang akan datang.

Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. [1] Ada dua leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.



SEJARAH
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Sri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuna. Kini upacara seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.

Di Cigugur, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda, sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi mendominasi rangkaian acara.



RITUAL UPACARA
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan lumbung-lumbung pendamping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare (induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya.

Puncak acara seren taun biasanya dibuka sejak pukul 08.00, diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur.

Rangkaian acara bermakna syukur kepada Tuhan itu dikukuhkan pula melalui pembacaan doa yang disampaikan secara bergantian oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Indonesia. Selanjutnya, dilaksanakan kegiatan akhir dari Ngajayak, yaitu penyerahan padi hasil panen dari para tokoh kepada masyarakat untuk kemudian ditumbuk bersama-sama. Ribuan orang yang hadir pun akhirnya terlibat dalam kegiatan ini, mengikuti jejak para pemimpin, tokoh masyarakat, maupun rohaniwan yang terlebih dahulu dipersilakan menumbuk padi. Puluhan orang lainnya berebut gabah dari saung bertajuk Pwah Aci Sanghyang Asri (Pohaci Sanghyang Sri).

Dalam upacara Seren Taun dilakukan berbagai keramaian dan pertunjukan kesenian adat. Ritual seren taun itu sendiri mulai berlangsung sejak tangal 18 Rayagung, dimulai dengan pembukaan pameran Dokumentasi Seni dan Komoditi Adat Jabar. Setiap hari dipertunjukkan pencak silat, nyiblung (musik air), kesenian dari Dayak Krimun, Indramayu, suling rando, tarawelet, karinding, dan suling kumbang dari Baduy.


SumbeR : ( WikipediAensiklopediA )
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ramalan Jodoh